Indonesia Darurat Pelanggaran HAM dalam Sektor Bisnis
Poskita.co – Pemerintah tidak bisa lagi menutup mata akan rentannya pelanggaran HAM dalam sektor bisnis di Indonesia. Setidaknya, terdapat tiga sektor bisnis yang rentan pelanggaran HAM pada pekerjanya dan aspek lingkungan. Ketiga sektor tersebut adalah akuakultur (budidaya perikanan), pertambangan, dan kehutanan. INFID menyoroti isu ini melalui dialog Pra-Konferensi bertajuk “Kabar Terbaru Hak Asasi Manusia dari Sektor Bisnis di Indonesia”. Diskusi ini merupakan bagian dari rangkaian acara menyambut Konferensi SDGs & Sidang Umum INFID pada tanggal 19-20 Juli mendatang.
Pertambangan, perikanan, dan perhutanan adalah tiga sektor vital yang menyangga perekonomian Indonesia, namun rentan pelanggaran HAM bagi sosial, ekonomi dan lingkungan, apabila dikelola tanpa standar-standar HAM dalam bisnis. Pertambangan dan perhutanan pun masuk dalam tiga sektor prioritas dalam RANHAM 2021-2025. Di sektor tambang misalnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat realisasi penerimaan negara dari sektor pertambangan mineral dan batu bara atau minerba per 6 September 2021 tembus Rp 42,36 triliun atau 108,33 persen dari target tahun 2021.
Sayangnya, suburnya penghasilan sejalan dengan suburnya praktik pelanggaran HAM di dalamnya. Sektor pertambangan dengan keragaman komoditi mineral terus menambah daftar riwayat negatif pada perlindungan HAM. Kasus Kendeng dan kasus Wadas di Jawa Tengah adalah fenomena mutakhir bagaimana daftar riwayat negatif itu terus memanjang. Di beberapa tempat, kerentanan HAM datang dari bahaya lubang tambang, penggusuran lahan, pelanggaran hak ulayat, pengabaian komunitas lokal, hingga pengabaian dampak sosial ataupun lingkungan dari praktik ekstraksi.
“Di Sumatra Utara,” jelas Tongam Panggabean, Direktur Ekskutif BAKUMSU, “konflik kehutanan adalah implikasi dari SK Menteri Kehutanan No. AK.579/Menhut-II/2014 tentang Kawasan Hutan Provinsi Sumatra Utara dan pemberian konsesi Hutan Tanaman Industri kepada PT Toba Pulp Lestari.” Alokasi perizinan hutan adalah 40,460,000 hektar untuk perusahaan, 1,740,000 ha untuk masyarakat, dan 41,200 ha untuk kepentingan umum. “Hal ini menunjukan kesenjangan yang sangat tinggi dalam sektor kehutanan”, kata Tongam.
Tongam juga melihat bahwa sejumlah pasal justru memberi ruang terjadinya ‘kriminalisasi berlebih’ pada orang-orang yang seharusnya dilindungi hukum. Dalam konteks ini masyarakat adat dan warga lokal adalah dua pihak yang mungkin paling terdampak. Direktorat Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat-PKTH tahun 2019 mencatat bahwa sebagian besar konflik terjadi antara perusahaan versus masyarakat, kemudian disusul oleh konflik pemerintah versus masyarakat.
Di sektor pertambangan, salah satu problem mendasar dari kerentanan HAM adalah adanya kesenjangan regulasi tata kelola pertambangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. “Melalui kesenjangan ini perusahaan lari dari tanggung jawab melalui pasal-pasal yang multi-tafsir”, tegas Program Manajer Inkrispena, Ruth Indah Rahayu.
Hal lain yang menurut Ruth juga berkontribusi pada longgarnya pemenuhan tanggung jawab adalah pengalihan wewenang tata kelola dari Pemda atau Pemkot ke Pemprov. Implikasinya, peran pengawasan oleh pemerintah di tingkat paling kecil tergantikan oleh otoritas yang lebih besar. Ketika ada dampak sosial dari kegiatan tambang di tingkat kota, maka pemkot atau pemda akan melarikannya sebagai tanggungjawab pemprov. Pola ini menimbulkan potensi terselipnya kepentingan oligarkis pada lobi-lobi di tingkat provinsi ataupun nasional.
Menurut Ruth, masalah penegakan HAM tidak hanya soal regulasi, melainkan juga soal penyiapan tenaga ahli pengawas tambang. “Banyak inspektur tambang tidak menjalankan fungsi dengan semestinya, melainkan justru terlibat dalam struktural perusahaan tambang,” pungkas Ruth.
Beralih ke sektor akuakultur, risiko peminggiran hak asasi manusia juga terjadi di ranah perikanan. Sebagaimana yang ditemukan dalam riset terbaru INFID tahun 2022 tentang budidaya udang misalnya, ancaman pada HAM datang dari dampak langsung maupun tidak langsung dari aktivitas tambak.
“Limbah budidaya udang biasanya terbuang ke perairan. Kemerosotan kualitas lingkungan selanjutnya memicu kemunculan dan penyebaran penyakit udang. Soal lahan juga tidak kalah krusial, Pemprov Kalimantan Utara misalnya, mencatat 41% mangrove rusak berat sebab alih fungsi ke tambak,” tutur Abdul Waidl, Senior Program Officer HAM dan Demokrasi INFID.
Waidl menerangkan lebih jauh, pekerja perempuan di sektor tambak udang menjadi sorotan penting. “Tambak banyak menyerap tenaga kerja perempuan, namun belum diimbangi dengan kerangka perlindungan yang memadai. Tanggungjawab kerja di tambak sering berkejaran dengan tugas-tugas rumah tangga. Belum lagi resiko terpapar zat berbahaya, seperti klorin, di lahan tambak. Sementara alat pelindung diri (APD) belum tentu disediakan,” pungkasnya.
Diskusi ini mengungkap bahwa sektor perhutanan, pertambangan dan perikanan sama-sama memiliki kerentanan dalam penegakan HAM pada aspek regulasi, lingkungan, dan aspek ketenagakerjaan. Ini adalah masalah struktural yang membutuhkan tidak hanya rekomendasi ataupun himbauan, mengingat efeknya dapat langsung menentukan hidup seseorang atau suatu komunitas yang terlibat di dalamnya, atau yang berada di dekatnya.
Merespon situasi hubungan bisnis dan HAM di Indonesia, pemerintah menunjuk Kementerian Hukum dan HAM RI sebagai national focal point bisnis dan HAM sejak 2021. Kemenkumham sudah membentuk Gugus Tugas Nasional untuk Bisnis dan HAM di Indonesia yang salah satu tugasnya adalah menyusun Strategi Nasional Bisnis dan HAM (STRANAS BHAM) di Indonesia. “Kita sedang menunggu kerangka kebijakan bisnis dan HAM di Indonesia, menunggu dapat restu dari Kementerian Sekretariat Negara lalu Perpresnya disetujui oleh Presiden”, tutur Hajerati, Direktur Kerja Sama HAM Kementerian Hukum dan HAM RI.
Lebih jauh Hajerati menjabarkan, upaya lain yang telah dilakukan pemerintah di antaranya adalah membangun aplikasi PRISMA untuk membantu pelaku bisnis mengevaluasi kebijakan dalam perusahaannya apakah sudah menegakan prinsip HAM berdasarkan pedoman internasional yang disebut sebagai United Nations Guiding Principles (UNGPs) on Business & Human Rights. Aplikasi ini bersifat voluntary self assessment dan sudah dipakai oleh beberapa perusahaan BUMN.
Darurat pelanggaran HAM dalam sektor korporasi di Indonesia mendesak adanya reformasi regulasi HAM dalam bisnis yang menyeluruh dari tingkat pusat hingga daerah. Pengesahan Perpres Strategi Nasional Bisnis dan HAM diharapkan dapat menjadi langkah konkret paling awal untuk menjaga penegakan HAM dalam bisnis di Indonesia.
Meskipun draft sudah dinyatakan final dan sedang menunggu persetujuan izin prakarsa dari Kementerian Sekretariat Negara, masyarakat sipil mendorong perlunya rancangan Stranas BHAM untuk dikaji bersama dan memastikan substansinya sejalan dengan Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan HAM.
Cosmas/*