Urgensi Akses ke Pendidikan yang Berkualitas, Aman, serta Inklusif untuk Semua
Pendidikan, sebagai salah satu hak dasar anak-anak, telah mengalami tantangan dan gangguan serius selama pandemi Covid-19, dan kesempatan akan pendidikan dan pembelajaran bagi anak-anak pun sirna. Jutaan pelajar, yang mayoritas adalah anak-anak dan remaja, telah kehilangan kesempatan belajar akibat pembatasan sosial dan penutupan sekolah. Memasuki dua tahun pandemi saja, lebih dari 1,6 miliar anak-anak telah mengalami proses belajar-mengajar yang terganggu. Situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya ini menjadi tantangan bagi anak-anak, baik yang memiliki akses internet atau teknologi pendidikan, maupun yang tidak.
Gambaran suram di atas terungkap dalam sebuah global webinar yang diselenggarakan oleh Civil 20 (C20) Education, Digitalization and Civic Space W orking Group (EDCS WG) dan menghadirkan pejabat pemerintah serta pakar dari berbagai LSM lintas negara. Webinar bertajuk “Access to Universal, Inclusive and Safe Quality Education”3 menyoroti kondisi pembelajaran anak-anak dan remaja yang amat prihatin adanya, membahas beragam solusi untuk mengatasi masalah, dan membuat seruan kepada para pemimpin global untuk bertindak.
Suramnya potensi kehilangan belajar ditunjukkan oleh data yang disajikan oleh Emma Wagner dari Save the Children Inggris: 1,6 miliar pelajar putus sekolah akibat Covid-19 dan sekitar 50% dari mereka tidak memiliki akses ke komputer, dan 43% tanpa akses ke jaringan internet. Padahal, di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, jumlah anak yang hidup dengan (Kemiskinan Belajar)—bahkan sudah lebih dari 50% sebelum pandemi—akan meningkat tajam hingga 70%. 4 dari 5 peserta didik telah belajar sangat sedikit atau tidak sama sekali saat di luar sekolah. Bagi anak perempuan, dampaknya sangat buruk karena—saat tidak bersekolah—pengalaman belajar mereka terganggu oleh bertambahnya pekerjaan rumah tangga dan tanggung jawab pengasuhan.
Data dari beberapa negara menunjukkan keadaan buruk yang serupa. Studi global Save the Children menyatakan bahwa di Indonesia 79% anak-anak yang tinggal di pedesaan tidak mendapat akses ke materi pembelajaran yang memadai. Di Afrika Selatan, 400 – 500 ribu pelajar telah putus sekolah selama 16 bulan terakhir (National Income Dynamics Study, 2021). UNICEF (2020) melaporkan bahwa 78% anak-anak berusia 5 – 18 tahun belajar lebih sedikit di India. Di Arab Saudi, hanya 57% keluarga berpenghasilan rendah memiliki akses ke komputer menurut laporan OECD (2020).
Berbagi pengalaman dengan teman sebaya, Putri Gayatri, mewakili Children and Youth Advisory Network (CYAN), mengangkat kondisi yang memilukan. Dirinya mengungkap bahwa keluarga kurang mampu cenderung mencari berbagai jalan keluar demi melarikan diri dari situasi yang ada. Pernikahan anak pun menjadi masalah serius. Semakin banyak anak perempuan yang dituntut untuk menikah, sedangkan anak laki-laki harus menjadi tulang punggung keluarga. Dalam situasi yang memprihatinkan ini, para pelajar dari keluarga miskin dihadapkan pada masalah yang menjerumuskan mereka ke dasar piramida sosial, ditambah ketidakmungkinan untuk mengubah taraf hidup. “Selain itu, anak-anak juga dihadapkan pada dampak negatif digital,” tambah Putri.
Dr. Iwan Syahril, PhD, Ketua G20 Indonesia Education Working Group (EdWG) menyampaikan strategi G20 untuk mengatasi ketimpangan pendidikan dan pemilihan pendidikan pasca Covid-19. Indonesia akan memastikan prioritas bagi anak-anak di daerah rentan dan telah menyusun rencana bersama untuk menghadapi situasi bermasalah ini dengan empat agenda prioritas EdWG. Singkatnya, agenda tersebut akan mengatasi isu-isu pendidikan dengan mendorong pendidikan yang berkualitas untuk semua, dengan memanfaatkan teknologi digital, berlandaskan kerjasama dan solidaritas semua pihak, demi menghadapi dunia kerja masa depan setelah Covid-19.
Dengan agenda yang telah diusulkan di atas, Rene Raya dari Asia South Pacific Association for Basic and Adult Education (ASPBAE) mengungkap bahwa anggaran pendidikan tidak mencukupi untuk mendukung tersedianya layanan pembelajaran. Bahkan pra-pandemi, masalah pendanaan untuk pendidikan adalah hal yang serius, dan pandemi pun memperburuk masalah. Oleh karena itu, keharusan untuk alokasi anggaran khusus pendidikan menjadi genting. Kehilangan belajar atau learning poverty yang diperparah oleh pandemi Covid-19 merupakan hal yang sangat mendesak yang harus diperhatikan.
Sembari mengatasi dampak pandemi, inovasi demi mengatasi gangguan belajar harus dilakukan. Dr. Jigar Jodia dari Khalifa Bin Zayed Al Nahyan Foundation menyarankan proses belajar- mengajar dengan keterlibatan masif semua pihak agar memungkinkan anak-anak dapat belajar dengan optimal. Dirinya mengusulkan collaborative team teaching (pengajaran kolaboratif), pembelajaran dalam ruangan atau di rumah dan permainan yang dimediasi oleh teman sebaya. Walaupun pembelajaran tatap muka terganggu, cara-cara kreatif harus dilakukan untuk mengurangi dampak yang mendalam dari kehilangan belajar sebisa mungkin.
Namun, karena pandemi Covid-19 dan virus lainnya masih menghantui, sektor pendidikan memerlukan perhatian lebih, khususnya dari para pemimpin G20. Civil 20 (C20)—sebuah forum untuk Organisasi Masyarakat Sipil di seluruh dunia membawa suara dan agenda masyarakat kepada para pemimpin, dan sebagai salah satu Engagement Groups resmi dari G20— harus memainkan peran sentral. C20 patut mendorong agenda ini kepada para pemimpin global di G20, seru Sugeng Bahagijo, Ketua C20.
Dengan demikian, anak-anak yang kehidupan belajarnya dipertaruhkan akan terus mengalami kehilangan belajar dan learning poverty, yang akan menghalangi mereka untuk hidup lebih baik. G20 EdWG, yang diketuai Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek) Republik Indonesia telah menyiapkan secara matang strategi untuk mengatasi masalah ini berdasarkan model ‘Merdeka Belajar’.
Namun demikian, untuk memperkuat strategi tersebut, C20 juga menyerukan kepada para pemimpin G20 untuk: Memprorioritaskan peserta didik yang paling rentan, terutama anak-anak putus sekolah, anak perempuan, serta mereka yang ada didaerah tertinggal, terdepan dan terpencil. Menjamin lingkungan belajar yang aman bagi seluruh peserta didik, khususnya anak-anak. Menjamin anggaran Pendidikan yang cukup bahkan lebih dari cukup untuk memitigasi kehilangan belajar dan learning poverty; dan Libatkan, bermitra, dan berkolaborasi dengan guru, orang tua, dan pengasuh untuk menyediakan metode pengajaran dan pembelajaran yang inovatif untuk Pendidikan yang lebih tangguh.
Imelda Usnadibrata, Koordinator untuk C20 Education, Digitalization, and Civic Space Working Group (EDCSWG) , menjelaskan tentang C20,
“C20 adalah salahsatu Engagement Groups resmi dari G20, yang merupakan wadah bagi para Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di seluruh dunia untuk melahirkan dialog politik dengan G20. Proses C20 melibatkan juga beragam organisasi serta jaringan diluar negara-negara G20,” kata Imelda Usnadibrata.
Cosmas