HIPMI Desak Pengisian Pedagang Setra Kuliner Dibatalkan
SRAGEN, POSKITA.co – Kalangan muda ikut menyoal pembagian kios di sentra kuliner Veteran Brigjen Katamso, Sragen. Pengisian pedagang di kios sentra kuliner sangat subyektif dengan memanjakan pedagang kelas kakap dan mengabaikan pengusaha rintisan. Bahkan nuansa monopoli sangat terasa dalam penataan tersebut.
Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Kabupaten Sragen Giana Saputra mendesak pemkab merubah sistem yang akan diterapkan dalam penataan pedagang di Sentra kuliner. Agar tidak asal tunjuk bagi pengusaha kelas kakap yang sudah mapan. Tapi perlu lebih mengakomodir pengusaha rintisan atau startup. Meski hanya bersatus Hak Guna Bangunan (HGB). Jika tujuannya memang untuk membangun perekonomian kabupaten Sragen.
”Kalau seperti itu monopoli namanya. Harusnya akomodir teman-teman kita di bidang UKM. Selain itu jika dilelang dengan pembayaran yang bisa diangsur agar tidak memberatkan,” ujar Giana Rabu (27/1).
Dia mengaku miris dengan penataan sentra kuliner tersebut. Harusnya pemkab juga melihat kondisi dari para pengusaha rintisan. ”Harapan kita teman-teman UKM terserap disitu. Agar bisa meningkatkan omset
penjualan. Lebih lebih di situasi pandemi ini kondisi teman-teman UKM mengerikan,” ujarnya.
Giana cukup terheran heran dengan dengan pedagang yang akan dimasukkan. Seharusnya bisa menyerap Pedagang Kaki Lima (PKL) yang belum memiliki tempat yang layak untuk berjualan. ”Itu kan bisa dikatakan pengusaha kelas atas yang diakomodir. Lha itu mau jadi cabang ke 3 atau cabang 5 sama aja bohong, ujung ujungnya bisnis murni nantinya,” keluhnya.
Jika rencana tersebut dipertahankan dengan mengakomodir pemain lama, hasilnya tidak menopang perekonomian Sragen. Sehingga pemkab Sragen selayaknya mempertimbangkan lagi soal pengisian sentra kuliner itu. Ditambahkan Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) asal Sragen Yusuf mengungkapkan, seharusnya dalam pengisian sentra kuliner Sragen itu juga merangkul pedagang muda. Sehingga dalam sentra kuliner itu, lebih bervariatif mengakomodir semua kalangan.
“Karena dari pedagang yang masuk di sentra kuliner, lebih dikuasai pedagang yang dominan untuk kalangan tua. Padahal selain menyajikan menu unggulan, seharusnya pengelola juga menggadeng pedagang rintisan bagi kaum muda dengan segmen milenial. Dengan begitu saat keluarga berkunjung ke sentra kuliner tidak sebatas memanjakan kalangan tua, tetapi juga menyediakan menu kalangan muda,” papar Yusuf mahasiswa asal Sragen ini.
Bahkan bila kalangan muda diberi kepercayaan untuk mengelola kawasan tersebut, kata Yusuf, pihaknya siap bahkan berani melelang dengan memberikan pemasukan langsung ke Pendapatan Asli Daerah (PAD). Karena mekanisme pembayaran restribusi yang akan ditarik enam bulan kemudian, jelas sangat aneh.
“Karena semua berjualan penuh resiko, bila terbuka tentunya pedagang harus langsung berani sewa. Tapi ini aneh, mereka sudah terkenal kok takut tidak laku dengan dibebaskan enam bulan gratis,” tandas Yusuf. (Cartens)