Stop Bunuh Mimpi Anak

Spread the love

Nanik Wahyu Suryanti, S.Pd.
Kepala Sekolah SDN Jenarsari, Gemuh

Beberapa hari yang lalu saya membaca sebuah utas yang diunggah salah satu pengguna media sosial Twitter. Di sana si pengunggah menceritakan tentang sepupu laki-lakinya yang berusia sekitar 10 tahun yang selalu dimarahi oleh orang tuanya dikarenakan gemar bermain dengan pita dan manik-manik untuk membuat aksesoris. Si pengunggah juga menceritakan bahwa orang tua sepupunya juga sering membuang barang-barang yang sepupunya gunakan untuk membuat aksesoris.

“Cowok tuh gak main pita-pita. Cowok harusnya main bola sama layangan di luar.” Kutip si pengunggah untuk menggambarkan bagaimana orang tua sang sepupu memarahi sepupunya di utasnya.
Saya baru membaca beberapa postingan dari utas tersebut saat beberapa pertanyaan muncul di benak saya.

“Apa kesukaan seseorang harus dibedakan menurut gender? Kenapa seperti itu? Bagaimana bisa masih ada stereotipe seperti itu di zaman sekarang?”
2020, tahun dimana saya mengira semuanya sudah menjadi serba bebas. Ternyata saya masih menemukan kasus seperti ini. Dimana kesukaan, potensi, bahkan mimpi seseorang dengan mudahnya dipatahkan oleh sebuah stereotipe kuno, yang lebih parahnya lagi, dilakukan oleh orang terdekat mereka sendiri. Anak sering diminta guru atau orang tuanya untuk bermain dan memilih hobi sesuai gendernya. Hobi dan minat yang menggunakan fisik tentu saja identik dengan anak laki-laki, sementara anak perempuan harus menjalani hobi sebaliknya.
Anak-anak notabene memiliki kreativitas dan keunikan masing-masing entah dalam hal belajar ataupun bermain. Hanya karena apa yang mereka lakukan tidak sama dengan apa yang biasa orang lain lakukan maka kita bisa dengan mudahnya melabeli mereka dengan ‘tidak normal’ dan melarang anak-anak melakukan apa yang mereka inginkan atau sukai.
“Belajar yang giat supaya bisa jadi bla..bla..bla…” kalimat ini sangat sering dilontarkan bukan hanya oleh orang tua, melainkan juga guru di sekolah. Belajar. Apa yang harus dipelajari? Apakah hanya sekedar baca, tulis, hitung? Lalu bagaimana dengan anak yang tidak pandai dalam baca, tulis, hitung? Apa mereka akan dianggap bodoh? Padahal sebenarnya dia memiliki banyak bakat diluar pelajaran sekolah, namun tidak ada satupun yang mengakui atau bahkan melarangnya karena itu bukanlah matematika atau ilmu pengetahuan alam?
Kita mungkin tidak akan pernah tahu jika hal yang kita larang sebenarnya adalah dasar dari mimpi mereka. Dasar dari hal-hal yang ingin mereka capai saat mereka dewasa nanti dan kita mematahkan mimpi itu yang dapat berakibat kita memutus proses pembentukan karakter mereka. Lebih mirisnya lagi, kita kadang lupa atau bahkan tidak pernah menanyakan apa yang sebenarnya anak-anak kita ingin lakukan. Kita membunuh mimpi mereka, namun kita sendiri tidak pernah memberi solusi.
Padahal yang seharusnya terjadi adalah sebagai orang yang lebih dewasa, tentu kita harus berpikir bagaimana seorang anak bisa belajar tentang sesuatu yang baik tanpa mengurangi keasyikan dan kesenangannya dalam belajar tentang sesuatu tersebut. Berpikir bagaimana kita dapat mengarahkan pemikiran anak dengan baik untuk mewujudkan mimpi dan cita – citanya serta menjauhi hal – hal yang buruk dan tidak baik.
Namun pada kenyataanya, kebanyakan orang dewasa yang telah menjadi orang tua maupun guru malah lebih sering mempersempit bahkan membunuh ‘dunia mimpi’ si sanak dengan melarang dan melabeli mereka sehingga anak-anak kehilangan kepercayaan dirinya untuk melakukan apa yang mereka mau atau suka. Bahkan lebih parahnya, orang tuan bahkan sekolah sudah membuat ‘cetakan’ untuk anak-anak mereka. Harus jadi apa mereka nanti, prestasi apa yang harus mereka raih, dan lebih parahnya menjadikan anak-anak sebagai piala diantara satu dan yang lainnya.
Memang hal bukan yang mudah untuk mengubah hal-hal yang sudah lama tertanam di masyarakat. Namun, alangkah baiknya kita sebagai orang yang lebih dewasa dapat berdiri bersama anak-anak kita disaaat semua orang memberi mereka label yang tidak sesuai. Asalkan apa yang mereka lakukan itu baik dan tidak merugikan siapapun, maka tidak ada salahnya kan?
Jangan pernah hancurkan dunia mimpi anak-anak kita, karena itu adalah salah satu hak anak yang harus kita lindungi. Tugas orang tua dan guru sebagai orang yang lebih dewasa untuk memikirkan jalan yang terbaik. Izinkan anak melakukan apa yang mereka suka tanpa pernah men-judge mereka hanya karena mereka berbeda dari yang lain. Namun, jangan pula terlena membiarkan anak melakukan semua hal sesuka mereka. Pengawasan serta menyelipkan ajaran serta nilai-nilai kebaikan tentu masih sangat dibutuhkan di usia mereka.
Sekali lagi, jangan pernah hancurkan atau bahkan membunuh mimpi anak-anak kita. Karena dari mimpi-mimpi merekalah masa depan dunia dipertaruhkan.

Editor: cosmas