Mahasiswa Arsitek Harus Paham Aksesibel Ramah
SOLO, POSKITA.co – Mahasiswa arsitektur sebagai salah satu generasi masa depan yang akan menjadi perancang bangunan, landscap, dan fasilitas publik wajib memahami berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang aksesibilitas serta paham tentang prinsip universal design.
Hal itu mengemuka dalam diskusi kuliah umum Pembekalan dan Pemahaman dalam Implementasi UU No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas terkait dengan Pengguna, yang diselenggarakan oleh Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret (FT UNS) jurusan Arsitektur, Jumat (16/11/2018).
Sebagai nara sumber, FT UNS Jurusan Arsitektur menghadirkan empat orang nara sumber dari Soloraya Accessible Tourism (SRAT), yaitu Dwi Ariani, Anni Aryani, Bambang Ary Wibowo dan Mulyanto Utomo. SRAT adalah organisasi kemasyarakatan yang mempunyai visi mewujudkan pariwisata yang bebas hambatan bagi semua.
Sedangkan visi SRAT, menurut Dwi Ariani yang juga Ketua SRAT pada dasarnya ingin membuat dunia pariwisata di Solo dan sekitarnya/Solo Raya menjadi ramah & akses bagi semua orang (baik disabilitas, anak dan orang tua) baik itu; produknya, pelayanannya, tempat wisatanya.
“Kami juga berharap, organisasi kami yang belum lama lahir ini mampu menggerakkan berbagai komunitas di Solo untuk bekerja sama dalam mewujudkan Solo Raya sebagai tujuan wisata yang ramah bagi semua orang,” tambah Dwi Aryani.
Pada bagian lain Bambang Ary menyebutkan bahwa seorang sarjana arsitek, yang nantinya akan bertanggung jawab atas perancangan sebuah bangunan wajib paham tentang peraturan perundang-undangan yang mengatur soal perancangan bangunan tersebut.
“Paling tidak, Anda harus paham aturan hukum dalam mendirikan bangunan gedung, misalnya UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, UU Nomor 6 Tahun 2017 tentang Arsitektur, Perda Kota Surakarta Nomor 8 Tahun 2016 tentang Bangunan Gedung, dan sebetulnya masih banyak lagi,” kata Bambang.
Mengapa hal itu penting bagi calon sarjana arsitek maupun praktisi arsitektur untuk memahami hal itu, karena ini menyangkut konsekwensi hak asasi manusia.
“Bahwa setiap bangunan itu harus bisa diakses oleh semua, baik difabel, orang tua, anak-anak, dan lain-lain,” katanya.
Lebih lanjut Dwi Aryani mengatakan bahwa dalam konvensi internasional hak-hak disabilitas, telah ditegaskan bahwa setiap orang yang membangun gedung untuk publi harus mengerti dan bahkan hapal apa yang disebut Tujuh Prinsip Universal Design.
“Ketujuh prinsip ini adalah, kesetaraan penggunaan ruang; keselamatan dan keamanan bagi semua; kemudahan akses tanpa hambatan; kemudahan akses informasi; kemandirian penggunaan ruang; efisiensi upaya pengguna; dan kesesuaian ukuran dan ruang secara ergonomis,” jelas Dwi. (maskoes)
Caption Foto :
Dosen FT Arsitektur UNS dan pengurus Soloraya Accessible Tourism dalam kuliah umum di FT Arsitektur UNS.