Sarasehan Politik Vox Point Solo Raya, Politik adalah Kerja Mulia
Solo (Poskita.co)
Politik adalah kerja yang mulia, harus dipraktikkan dengan rasa keterpanggilan dan dedikasi yang menuntut kesaksian kesediaan berkorkan, (termasuk) mengorbankan nyawa demi kebaikan umum.
Demikian salah satu simpulan Rm Benny Susetyo yang mengutip pendapat Paus Fransiskus, dalam makalahnya berjudul “Negara dan Geraja: Gereja Katolik dalam Pusaran Perubahan Politik Indonesia.”
Sarasehan politik yang digelar Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Vox Populi Institute Indonesia (VPI) Solo Raya, Minggu (26/08/2018), bertempat di Aula Gereja St Paulus Kleca, mengambil tema “Siapa Bilang Politik Jahat”, menghadirkan Rm Benny Susetyo, KP Bambang Pradoto Nagoro (VPI Solo Raya, Gress Raja (VPI Solo Raya) dan M Arys Buntoro (moderator/VPI Solo Raya). Turut hadir Wali Kota Surakarta FX Hadi Rudyatmo memberi kata sambutan, Ketua DPD VPI Jawa Tengah Kristian Hardianto, Ketua DPW VPI Solo Raya, Ambrosius Ngasu, dan tamu undangan se-eks Karesidenan Surakarta.
Menurut Benny Susetyo, siapakah yang berkuasa?
“Di hampir semua negara, yang berkuasa adalah orang-orang yang memiliki power. Bukan state, society, atau market,” ujar Benny Susetyo.
Dalam partai politik, didalamnya menampung pengusaha, artis, mantan TNI/Polri menjadi pejabat publik, sebagai modal parpol untuk meraih kekuasaan. Namun faktanya, dalam 20 tahun reformasi,
“Demokrasi berjalan tanpa script, transaksi politik, bukan transformasi, surplus politisi, defisit negarawan,” kata Benny Susetyo.
Sayang, ada hal yang salah dalam politik, dalam psikologi massa, mereka membuat kesadaran seseorang menjadi tidak sadar, hal ini sudah dilakukan Presiden AS Donald Trump saat kampanye, dan kini diterapkan di Indonesia. Ada yang menyebar dan membuat hoax (berita bohong), sebagai contoh, adanya jutaan tenaga kerja asing (TKA) menyerbu Indonesia, padahal hal itu tidak benar.
Politik itu mencari kemenangan. Bagaimana mendapatkan peluang.
“Mengutip Rm Magnis, kita itu bukan mencari pemimpin yang baik, tetapi mencari pemimpin yang bisa menyelamatkan NKRI,” lanjut Benny.
Wali Kota Surakarta FX Hadi Rudyatmo menyatakan kegiatan sarasehan politik yang diadakan DPW Vox Point Solo Raya sangat luar biasa.
“Kegiatan ini luar biasa bagus. Saya minta juga agar ada eduka tentang politik di OMK,” kata Rudi, sapaan akrab dari Hadi Rudyatmo.
“Dalam berpolitik, jangan berpikir apa yang kita dapatkan, tetapi apa yang dapat kita berikan kepada masyakat Solo,” kata Rudi disambut tepuk tangan yang hadir.
KP Bambang Pradotonagoro, peneliti Vox Point Indonesia Solo Raya membawakan makalah berjudul Formalisasi Agama Dalam Kehidupan Berbangsa. Menurut Bambang, salah satu contoh formalisasi agama yaitu adanya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No 45 Tahun 2014 tentang pakaian seragam bagi peserta didik yang ditandatangani M Nuh.
Bambang juga mempermasalahkan tentang pawai TK di Probolinggo, dimana ada pernyataan pejabat pemerintah pawai tersebut untuk menunjukkan identitas dan kebudayaan nasional, faktanya dalam pawai menggunakan pakaian yang tertutup rapat.
Gress Raja, menjelaskan tentang slogan 100 % Katolik 100 % Indonesia. Menurutnya, 100% Katolik bukan menjadi umat yang setia dan rajin ke gereja, atau menjadi pejabat/aktivis gereja yang hebat, tetapi menjadi garam dan terang dunia. Sementara 100% Indonesia itu artinya memiliki jiwa anak bangsa Indonesia yakni berjiwa Pancasila, menjunjung tinggi prinsip Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa, bukan sekedar memiliki KTP WNI atau menjadi pejabat Negara.
“Tantangan kehidupan berbangsa kita saat ini adalah 4 karakter penghambat, yakni Pertama, ingin hidup enak tanpa kerja, kedua ingin mendapatkan gelar dan pangkat, tanpa belajar. Kedua mental tersebut melahirkan korupsi dan perdaganagan narkoba. Ini bisa diselesaikan dengan Revolusi Mental. Ketiga, ingin berkuasa tetapi tidak bisa menguasai diri, dan keempat merendahkan budaya sendiri. Dua hal itu melahirkan intoleransi dan radikalisme,” kata Gress Raja.
Lalu, bagaimana mengatasi intoleransi dan radikalisme?
Dijelaskan Gress Raja, untuk intoleransi dan radikalisme yang disupport oleh rasa haus akan kenikmatan kekuasaan, tutup semua sumber dana calon pemimpin mereka. Untuk intoleransi dan radikalisme karena tidak memiliki akar pada budaya sendiri, lalu mengagungkan budaya luar dan merendahkan budaya sendiri, intensifkankan program deradikalisasi untuk mengubah presepsi yang keliru tentang kebudayaan bangsa sendiri.
“Jika tetap tidak mau, kita perlu memberi hukuman sosial berupa penyematan status “Bukan Anak Bangsa Indonesia” atau pressure kepada pemerintah untuk mencabut status kewarganegaraan mereka sesuai ketentuan PP no. 2 tahun 2007,” ujar Gress Raja.
Pada kesempatan yang sama, Ketua DPD VPI Jawa Tengah Kristian Hardianto, berharap agar kabupaten lain, seperti Klaten, Boyolali, Sukoharjo, Sragen, Karanganyar, dan Wonogiri segera membentuk Vox Point di daerah masing-masing.
“Kita berharap, di setiap kabupaten ada Vox Point, sehingga nantinya bukan hanya Solo saja. Saya salut dengan VPI Solo Raya yang luar biasa, bergerak cepat, dan langsung action,” ujar Kristian.
Ketua DPW VPI Solo Raya, Ambrosius Ngasu, berharap sarasehan politik kali ini merupakan gebrakan pertama yang dilakukan VPI Solo Raya. Ia berharap VPI Solo Raya terus melahirkan kegiatan-kegiatan yang positif dan berguna bagi khalayak umum.
COSMAS