Telaah Kasus Kekerasan Terhadap Pemuka Agama

Spread the love
Foto: IST

OPINI

Oleh: Stanislaus Riyanta*

Kabar tentang penyerangan terhadap pemuka agama oleh orang gila menjadi marak akhir-akhir ini. Tercatat dalam pemberitaan terdapat beberapa kasus yang terjadi terutama di Jawa Barat dan Jawa Timur, dari berbagai kasus tersebut sebagian besar ternyata kabar bohong, alias hoax. Di Jawa Barat terdapat kabar 13 kasus penyerangan pemuka agama oleh orang gila, namun fakta yang terjadi hanya dua kasus yaitu yang menimpa KH Umar Basri di Cicalengka dan Ustad Prawoto (Persis) di Bandung. Sementara di Jawa Timur dari 4 kabar yang ada yaitu di Lamongan, Tuban, Kediri, dan Malang, yang merupakan fakta ada serangan orang gila terjadi di Lamongan.
Kejadian di Lamongan ada seorang laki-laki muda diduga gila duduk di pendopo rumah dan diminta untuk pindah. Akan tetapi, orang gila tersebut tidak mau dan akhirnya justru mengejar dan melawan Kiai Barok hingga ia terjatuh.
Di Tuban isu penyerangan orang gila faktanya adalah ada seorang yang berobat ke seorang tokoh di sana, namun karena tidak dilayani kemudian mengamuk. Di Kediri isu penyerangan terhadap ulama dipastikan hoax dan pelaku pembuat isu sudah mengaku dan minta maaf. Di Lawang Malang dari penelusuran juga hoax.
Dari fakta-fakta yang terjadi, dapat disimpulkan tidak ada aksi sistematis yang dilakukan terhadap ulama yang dilakukan oleh orang gila. Aksi-aksi yang benar-benar terjadi seperti di Cicalengka, Bandung, dan Lamongan adalah aksi-aksi yang terpisah dan berdiri sendiri. Namun oleh pihak-pihak tertentu berita tersebut diviralkan dengan kemasan tertentu sehingga seolah menjadi satu framing kejadian yang sistematis. Hal ini juga diperparah dengan kabar-kabar bohong termasuk dihubungkan dengan isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia, sehingga yang diterima oleh publik adalah adanya serangan terhadap pemuka agama oleh orang gila tersebut adalah aksi sistematis.
Telaah dari kasus ini, memang terjadi propaganda kepada masyarakat bahwa telah terjadi aksi sistematis berupa serangan kepada pemuka agama oleh orang gila yang dihubungkan dengan kebangkitan Partai Komunis Indonesia. Propaganda ini menggunakan pemicu kasus yang benar-benar terjadi seperti di Cicalengka, Bandung dan Lamongan, dan diperbesar lagi dengan berbagai kabar bohong yang didesain sedemikian rupa sehingga publik menjadi percaya.
Aksi sistematis yang terjadi pada fenomena ini adalah aksi propagandanya, sementara aksi kekerasan terhadap pemuka agama memang terjadi di beberapa tempat namun merupaka  aksi terpisah dan berdiri sendiri. Sementara sebagian besar kabar terkait aksi tersebut dapat dipastikan adalah bohong, dibuktikan dengan pengakuan dan permintaan maaf dari penyebar beritanya.
Saat ini diketahui Polri sudah melakukan penanganan untuk mencegah terjadinya keresahan di masyarakat. Penyebaran kabar bohong yang diketahui dikendalikan oleh kelompok tertentu telah diungkap dan ditangkap para pelakunya. Belasan orang saat ini sudah diamankan oleh Tim Gabungan Direktorat Cyber Bareskrim dan Direktoran Keamanan Khusus Baintelkam Mabes Polri.
Dengan penanganan ini tentu saja akan terungkap siapa pelaku pembuat dan penyebar kabar bohong tersebut, hingga motif dan tujuan kenapa aksi yang meresahkan masyarakat tersebut dilakukan. Catatan penting dari kelompok ini adalah mereka menggunakan simbol agama sehingga ketika terjadi penanganan oleh Polri maka isu bisa saja pelaku berdalih bahwa aksi tersebut untuk membela agama. Tentu saja tidak menuntup kemungkinan penanganan Polri terhadap kelompok yang membawa nama agama ini akan dipropagandakan sebagai tindakan terhadap agama tertentu.
Sikap Ketua MUI terkait penyebaran hoax oleh kelompok tertentu tersebut sudah sangat jelas. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma’ruf Amin mengecam tindakan masyarakat yang menyebarkan berita bohong alias hoaks yang menggunakan identitas Islam seperti yang diduga dilakukan anggota The Family MCA (Muslim Cyber Army).
Ketua MUI juga mengatakan bahwa Polri harus memproses semua pelaku penyebar hoaks tanpa pandang bulu. Penyebaran berita palsu diyakini oleh Ketua MUI dapat membuat kegaduhan dan memicu konflik horizontal di tengah masyarakat. Selain itu Ketua MUI meminta seluruh masyarakat Indonesia membantu pemerintah Indonesia dalam mengawal kesatuan serta keutuhan bangsa dengan tidak menyalahgunakan kemajuan teknologi digital dengan ikut-ikutan menyebarkan hoaks.
Berbeda dengan Ketua MUI, ada beberapa elit politik yang mempertanyakan kinerja Polri tersebut, seperti menyatakan bahwa penangkapan pelaku hoax oleh Polri dianggap mematikan demokrasi. Menghadapi kritik tersebut diharapkan Polri tetap bekerja profesional sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku. Hoax yang sudah meresahkan masyarakat sehingga berpotensi timbulnya konflik harus ditangani sejak dini.
Upaya yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu untuk melemahkan penanganan Polri dapat diabaikan mengingat kepentingan keamanan negara lebih tinggi daripada menanggapi kritik tersebut. Justru yang menjadi pertanyaan adalah ada kepentingan apa sehingga ada pihak tertentu justru megkritik Polri yang telah melakukan penangkapan terhadap pelaku pembuat dan penyebar kabar bohong alias hoax yang meresahkan masyarakat.
Spekulasi terkait kabar penyerangan terhadap pemuka agama oleh orang gila dan kebangkitan Partai Komunis Indnonesia harus segera diakhir terutama jika tidak ada fakta yang mendukung. Tentu saja Polri akan menangani kabar-kabar ini dengan profesional dengan mengungkap kasus yang terjadi, menangkap pelaku jika terjadi serangan, dan menangkap penyebar dan pembuat kabar jika ternyata bohong.
Polri diharapkan secara profesional dapat mengungkap kasus-kasus ini, dan menyampaikan secara terbuka kepada publik sehingga kabar yang diterima oleh masyarakat adalah kabar resmi yang faktanya dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini dapat membawa suasana terutama menjelang Pilkada Serantak 2018 dan Pilpres 2019 menjadi lebih kondusif dan damai.
*) Stanislaus Riyanta
Pengamat intelijen, mahasiswa Doktoral Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia.
ilustrasi foto: istimewa