Menggugat Guru Sertifikasi
Oleh: Ki Sabdo
Pemerhati Masalah Pendidikan
Apa yang telah dilakukan para guru peraih sertifikat pendidik dalam memajukan dunia pendidikan? Dari berbagai perjumpaan dan wawancara beberapa guru yang dijumpai penulis, jawabannya kebanyakan klasik.
Pertama, sekarang lebih disiplin dibanding sebelum memperoleh sertifikat pendidik. Kalau jawaban ini dilempar kembali kepada guru, berarti selama ini tidak atau kurang disiplin dalam bekerja, dengan kata lain seenaknya, atau ogah-ogahan. Toh, tidak disiplin pun sudah mendapat gaji. Tentu saja, para guru langsung menjawab, dulu sudah disiplin, tapi sekarang lebih disiplin. Waduhhh… satu kali gaji pokok hanya mendapat balasan lebih disiplin.
Kedua, jawabannya sangat diplomatis, sekarang dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar lebih aktif, kreatif, inovatif, dan menyenangkan. Jawaban ini mencuplik pembelajaran PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, dan Menyenangkan), ada yang menambah dengan Inovatif disingkat menjadi PAIKEM. Semua guru sudah paham masalah ini, jadi tak harus menunggu seseorang lulus sertifikasi baru melaksanakan PAKEM. Setelah dikejar, apa yang dihasilkan dari inovasi guru, sang guru pun tak bisa menjelaskan apalagi membuktikan hasil dari inovasi guru. Sekali lagi, semoga negara tak salah sasaran dalam menggaji para guru sertifikasi ini. Digaji besar, tapi tak melakukan apa-apa alias sama dengan guru non sertifikasi.
Ketiga, jawabannya sangat-sangat menyedihkan bagi yang mendengarkan: kami kan sebentar lagi mau pensiun, jadi kami lakukan sebisa kami dan semampu kami. Pembelajaran ya ala kadarnya, lha wong kami sudah tua. Kalau disuruh pakai laptop, jelas masih gaptek. Kalau pun mau belajar inovasi pendidikan, buat apa wong mau pensiun. Anggap saja uang sertifikasi sebagai balas jasa kepada kami, yang telah berjasa besar dan menyita hampir separo hidup kami dalam memajukan pendidikan.
Sekali lagi, semoga pemerintah tak keliru menggaji orang seperti ini, yang tak melakukan apapun demi kemajuan pendidikan! Kalau pemerintah sudah paham akan terjadi seperti ini, mengapa mereka harus diluluskan sertifikasi guru? Toh, mereka akan pensiun. Jika dimaksudkan sebagai penghargaan kepada mereka yang akan pensiun, ya lebih baik tak usah ikut seleksi sertifikasi guru, tetapi langsung saja semua guru yang akan pensiun mendapat tunjangan sertifikasi guru. Beres. Tak ada beban moral, dan tidak mengotori dunia pendidikan yang seharusnya menjadi suri teladan.
Keempat, kalaupun kami tidak bekerja sesuai harapan, toh tak ada sanksi. Buktinya, jutaan guru tetap berleha-leha, walau tak memenuhi harapan sebagai guru profesional, bekerja seenaknya, tanpa melakukan perubahan, tak mendapat teguran lisan maupun tertulis. Pemerintah tetap membiarkan, dan tetap mengalirkan uang triliunan rupiah kepada para guru peraih sertifikat pendidik. Luar biasa bukan? Lalu, apa hal semacam ini akan diteruskan?
Kelima, agaknya pemerintah dalam hal ini Dinas Pendidikan tidak bertaji dalam mengurus penyelewengan sertifikasi. Artinya, ketika ada guru yang seenaknya dalam mengajar, tidak ada peningkatan dalam kualitas pembelajaran, bekerja seperti sebelum meraih sertifikat, tak ada sanksi yang jelas terkait dengan masalah tersebut. Seolah, Dinas Pendidikan membiarkan begitu saja. Toh, kalau mau mengurus pasti urusannya panjang, lama, melelahkan. Dan hal itu jelas merugikan Dinas Pendidikan itu sendiri, karena masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, urusan Dinas Pendidikan bukan hanya masalah sertifikasi guru. Nah, mungkin itu alasannya mengapa Dinas Pendidikan tak bertaji dalam mengurus sanksi untuk guru sertifikasi yang tidak bekerja profesional.
Keenam, lolosnya guru (dosen) meraih sertifikat pendidik berarti menambah gengsi baru dalam kehidupan seseorang. Begitu uang sertifikasi cair, yang biasanya dirapel beberapa bulan, kebutuhan pun langsung berderet layaknya deret ukur. Kebutuhan itu meliputi kepuasan pribadi, contohnya HP pribadi, laptop pribadi, motor pribadi, mobil pribadi, yang kesemuanya itu tentu saja tak ada sangkut pautnya dengan dunia pendidikan. Memang, laptop dapat digunakan untuk pembelajaran. Namun, melalui laptop pulalah sebagian guru justru sering digunakan untuk facebook-an, chatting, atau sebangsanya. Memang, sebagian guru benar-benar memanfaatkan laptop untuk pembelajaran, tapi jumlahnya tak begitu banyak.
Soal mobil, memang ini menjadi “gaya hidup baru” para guru sertifikasi. Mereka seolah berlomba untuk mendapatkan mobil demi meningkatkan gengsi. Gaji semakin besar, mobil pun semakin bagus. Guru bukan lagi Oemar Bakri, yang kesehariannya naik sepeda onthel, tapi sudah naik sedan atau jeep. Sekarang ini amat sangat langka menemukan kepala sekolah yang ngonthel, mereka sudah naik kelas menjadi pendidik yang kemana-mana bermobil.
Ketujuh, sebagian pendidik yang lulus sertifikasi bukannya bertambah kaya, tetapi malah banyak hutang. Hal ini sudah bukan rahasia lagi bagi PNS di negeri ini. Bukankah sudah sering terdengar, begitu seseorang diangkat menjadi PNS, SK pengangkatan langsung disekolahkan, istilah lain untuk digunakan sebagai barang jaminan peminjaman. Maka, banyak PNS yang dibelit hutang karena tingkah lakunya sendiri yang tak bisa mengelola uang dengan baik. Lebih gila lagi, ketika dapat tunjangan sertifikasi malah lebih berani hutang dengan jumlah yang lebih besar. Peristiwa ini sungguh memprihatinkan, di kala orang lain kesulitan mencari kerja, mereka yang sudah memiliki gaji tetap, anti PHK (kecuali melakukan kesalahan yang sangat fatal), dan pasti dapat pensiun malah menghamburkan uangnya demi kepentingan sesaat karena salah kelola keuangan.
Kedelapan, pertanggung jawaban uang sertifikasi tidak jelas jluntrungnya. Sampai sekarang, belum pernah terdengar seorang guru dipecat atau distop tunjangannya karena laporan penggunaan dananya tak jelas. Yang terjadi, pertanggungjawaban keuangan hanya formalitas belaka. Tentu saja, laporan yang dibuat pun asal jadi. Toh, dana pun terus mengalir ke rekening dengan lancar.
Itulah sebagian potret buruk yang kini dihadapi para guru dan dosen sertifikasi. Memang, tidak semua guru dan dosen sertifikasi buruk rupa, ada juga yang benar-benar memanfaatkan tunjangan sertifikasi guru dan dosen dengan baik demi kemajuan pendidikan. Tapi, jika dihitung jumlahnya tak seberapa, lebih sedikit jika dibanding guru/dosen sertifikasi yang asal-asalan.
Berdasarkan fakta di atas, pemerintah khususnya menteri pendidikan nasional dan kebudayaan harus membuat gebrakan baru agar para guru/dosen sertifikasi bisa melaksanakan tugasnya dengan profesional. Apapun alasannya, tunjangan sertifikasi berasal dari dana APBN yang notabene sumbernya dari uang rakyat. Kalau rakyat sudah mau berkorban, ya jangan dikorbankan lagi sehingga hidupnya semakin nelangsa.